Habib Hasan bin Saleh Al-Bahr Al-Jufri , seorang Ulama besar & Wali termasyhur, dikenal dermawan, ramah dan lemah lembut. Beliau lahir di Khali Rasyid, Hadramaut, pada tahun 1191 H / 1771 M. Sejak berusia dua tahun, beliau telah yatim, ditinggal ayahandanya, Saleh bin Bahr Al-Jufri. Beliau kemudian diasuh oleh ibu dan kakeknya, Sayyid Idrus bin Abu Bakar Al-Jufri di Dzi Ishbah.
Sejak kecil, beliau tinggal di lingkungan yang mencintai ilmu pengetahuan agama dengan semangat beribadah yang kuat. Mula-mula belajar membaca Al-Qur’an kepada syekh Abdurrahman Ba Suud. Kemudian belajar menghafal kitab suci itu dibawah bimbingan Syekh Abdullah bin Saad.
Setelah itu beliau berguru ke sejumlah Ulama, seperti :
• Habib Umar bin Zein bin Smith
• Habib Umar bin Ahmad bin Hasan Al-Haddad
• Habib Alwi binSaggaf bin Muhammad bin Umar Assegaf di Seiwun.
Disana pula akhirnya beliau mendapat jodoh.
Ketika dewasa, beliau berdakwah melalui beberapa majelis taklim keliling di Syibam, kemudian berdakwah di kota-kota lain. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena penduduk Sybam saat itu tengah mengalami kemunduran dan kelalaian. Karena itu, beliau pun terpaksa hijrah dari Syibam menuju Dzi Ishbah.
Di belakang hari beliau dijiluki Al-Bahr ( laut ,maksudnya lautan ilmu ) berkat kedalaman dan keluasan ilmu agamanya. Ketika mengkaji kitab Mukhtasar at-Tuhfah langsung dari pengarangnya, Syekh Ali bin Umar bin Qadhi Bakhsir, beliau banyak mengoreksi beberapa hal, padahal umurnya baru 20 tahun.
Kedalaman ilmu itu juga tampak, ketika Sayyid Abdurrahman bin Sulaiman Al-Ahdal, seorang Mufti dari zabid, memintanya menulis risalah yang menjelaskan sifat shalat kaum Muqarrabin, orang yang selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan sebisa mungkin melaksanakan segala ibadah sunah. Permintaan itu beliau penuhi dalam risalah Shalatul Muqarrabin, yang membuat kagum para ulama dan sufi, terutama di Hijaz ( Arab Saudi )
Sebagai Ulama yang berpegang teguh pada sunah Nabi, beliau selalu berusaha meniti jejak para ulama salaf. Misalnya dengan selalu mengerjakan shalat berjama’ah di Masjid meskipun letaknya jauh dari rumah di pinggiran kota Dzi Ishbah. Atas permintaan penduduk , juga untuk menghemat waktu dan mengurangi kesulitan perjanan, beliau kemudian pindah ke dalam kota.
Semangatnya untuk mengamalkan shalat sunah rawatib, shalat sunah yang dikerjakan secara tetap sebelum dan sesudah shalat fardhu, dan shalat sunah yang lain, memang sangat tinggi. Antara lain dari shalat khusuf (gerhana bulan ), shalat kusuf ( gerhana matahari ), shalat sunah setelah wudhu, shalat duha delapan raka’at, hingga shalat witir 11 rakaat di akhir malam; semuanya beliau kerjakan dengan tekun.
Tentu saja shalat wajib lima waktu selalu beliau kerjakan secara berjama’ah pula. Beliau juga lazim membaca setengah dari jumlah surah Al-Qur’an dalam shalat tahajud. Kadang kala malah khatam dalam shalat tahajud. Kadang kala malah khatam dalam satu raka’at. Ulama yang sangat mengutamakan shalat ini juga sering melakukan puasa Nabi Daud ( sehari puasa sehari tidak ), baik sedang bepergian, sehat ataupun sakit.
Beliau juga sering membaca surah Yasin 40 kali dalam satu majelis dan dalam datu atau dua raka’at shalat. Di antara wirid yang digemarinya adalah membaca surah Al-Ikhlash sebanyak 90.000 kali dalam satu raka’at shalat.
Beliau telah menunaikan ibadah haji lebih dari tujuh kali dan sering melakukan tawaf malam hari sambil membaca Al-qur’an sampai fajar; kadang malah sampai menghatamkannya. Sebagaimana dituturkan Sayyid Ahmad bin Ali Al-Junaid dalam perjalanan dari Mekah ke Madinah pada tahun 1233 H / 1813 M, pada saat puasa, Habib Hasan setiap malam hanya sahur dengan beberapa teguk air, lalu menunaikan shalat tahajud.
Menurut salah seorang anaknya, Abdullah bin Hasan, walaupun sang ayah sedang sakit parah dan hanya bisa terbaring di tempat tidur, ketika waktu shalat sunah yang biasa dilakukannya telah tiba, Habib Hasan bangun, kemudian memukul ke dua pahanya, sambil berkata:
“Bangunlah wahai jiwa yang buruk! Jangan kau halangi aku untuk menunaikan wiridku!”
Beliau lalu mengambil air wudhu untuk shalat sunah sambil memegang Al-Qur’an, usai shalat, beliau terjatuh dan tubuhnya kembali panas.
Meskipun dikenal sebagai ahli ibadah, dengan rendah hati beliau berkata,
“Kekerasan hati dan kelalaian telah mengalahkanku, sehingga tidak tersisa lagi padaku selain tawakal kepada Allah SWT, dan pada sifat-sifatnya yang pengasih dan penyayang. Adapun amalan-amalanku buruk. Jika ada amalku yang baik, itu berkat kemurahan, dan karunia Allah SWT belaka.”
Selain dikenal ahli ibadah, orang mengenalnya pula sebagai pribadi berbudu luhur dan penuh kasih saying terhadap sesame Makhluk. Seperti diceritakan oleh Habib Ahmad bin Ali Al-Junaid, yang menemaninya dalam perjalanan ke Mekah, lalu berziarah ke Makam Rasulullah SAW di Madinah. Dalam perjalanannya ke Madinah, mereka dirampok, tapi Habib Hasan tidak mencegahnya.
“Mengapa Sayyid tidak mencegahnya?”Tanya Habib Ahmad.
“Cobain ini tidak terlalu berat bagiku, kecuali mereka mengambil Al-Qur’an yang kubawa. Ini memang cobaan Allah SWT. Dan cobaan kekasih tidak menyakitkan.”
Jawab Habib Hasan.
Ketika saudara kandung Habib Ahmad Al-Junaid, yaitu Habib Umar Al-Junaid, yang kaya menimggal dunia. Ia berwasiat kepada Habib Ahmad agar memberi uang senilai 500 riyal kepada Habib Hasan. Tapi ketika uang tersebut diserahkan, Habib Hasan justru berkata:
” Ini adalah dosa yang siksanya akan disegerakan.”
Lalu beliau langsung membagi-bagikan uang tersebut kepada orang-orang yang dapat memanfaatkannya demi ketaatan mereka kepada Allah SWT.
Kasih sayangnya tidak hanya kepada orang-orang sekitarnya, tapi juga kepada kepada seekor anjing liar yang banyak mengganggu penduduk kareng sering melahap hewan piaraan. Mendengar pengaduan penduduk, beliau berkata:
”Anjing itu bertingkah demikian karena kalian menelantarkannya dan tidak memberi makan. Bawa kemari anjing itu, lalu berilah makan dia hingga kenyang.”
Habib Hasan sangat menaruh perhatian pada anjing tersebut, dengan menempatkannya dalamsebuah kandang yang bersih dan memberinya makanan. Setiap hari beliau bertanya kepada pembantunya, bagaimana keadaan anjing yang dipeliharanya itu.
Usai menunaikan shalat Jum’at di sebuah masjid di Syibam, Habib Hasan melihat seekor burung kecil jatuh dari sarangnya di atas masjid ke lantai. Beliau pun tak kuasa lagi menahan air matanya. Maka beliau pun lalu minta para jemaah keluar sebentar, agar si induk burung dapat mengambil anaknya dengan leluasa kembali ke sarangnya.
Beliau juga sangat peduli pada faqir miskin. Ketika menikahkan salah seorang putrinya, Habib Hasan melihat kerumunan orang di bawah jendela loteng.
“Siapa yang berkerumun di sana itu ?”tanyanya.
“Mereka faqir miskin yang menantikan sisa-sisa makan malam.”Jawab pembantunya.
Maka beliau segera memerintahkan menjamu nereka, padahal hanya tersedia makanan yang dipersiapkan untuk para tetamu pernikahan.
“Tidak apa-apa, hidangkan saja makanan itu.”Ujarnya.
Habib hasan mendapat gelar Al Jufri, sebagaimana pendahulunya. Tokoh yang pertama mendapat gelar Al Jufri ialah Habib Abu Bakar bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Al Faqih Muqaddam. Julukan itu ada riwayatnya. Ketika masih kecil, beliau disapa oleh sang kakek, Al-Imam Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Maula Dawilah, “Ahlan bil Jufrah”( selamat dating anak kambing kecilku )
Sang kakek memanggil cucunya dengan panggilann anak kambing karena tubuh cucunya yang gendut dan lucu seperti anak kambing yang sehat,. Menurut seorang ahli bahasa, Jufri, itu digunakan karena dahulu kakek mereka menulis buku tentang Jufr dan sering mengulang-ngulang kata Jufri.
Habib Hasan bin Saleh Al-Bahar Al-Jufri wafat pada waktu Duha, hari Rabu, 23 Zulkaidah 1273 H / 1853 M, di Dzi Ishbah. Jenazahnya di makamkan dekat makam ibundanya di tengah Mushola sdi samping rumahnya.
(Dikutip dari Majalah Al-Kisah No.16/tahun III/1-14 agustus 2005)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Assalamulaikum Wr. Wb.
ReplyDeleteMohon Izin copy artikel ini. terima kasih.
Wassalam.
Hasan Fauzi Albahar