Habib Ahmad bin Hamid Al-Kaff dikenal sebagai wali "Mastur" yaitu wali yang karamah-karamahnya tersembunyi. Padahal karamahnya cukup banyak. Salah satu karamahnya yang terkenal ialah ketika beliau menziarahi orang tuanya ( Habib Hamid Al-Kaff dan Hababah Fatimah Al-Jufri ) di kampung Yusrain, 10 Ilir, Palembang. Dalam perjalanan, kebetulan hujan turun dengan sangat lebat dan deras. Untuk beberapa saat beliau mengibaskan tangannya ke langit sambil berdoa'. Ajaib, kontan hujan pun reda. Sesungguhnya itu bukanlah merupakan kehebatan seorang habib, melainkan atas pertolongan Allah swt. Cuma tidak banyak orang alim yang mendapat karamah dari Allah swt seperti itu.
Beliau sampai akhir hayatnya tinggal di Jalan K.H. Hasyim Asy'ari no.1 RT 01/1, 14 Ulu, Palembang. Cuma sayang, catatan tanggal lahir tidak diketahui dengan pasti. Hanya ada sedikit catatan yang menyebutkan, beliau lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, dan dibesarkan di Palembang. Sejak kecil, beliau diasuh oleh Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Aththas.
Uniknya, hampir setiap pagi buta, Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Aththas menjemput muridnya itu ke rumahnya untuk shalat shubuh berjamaah, karena sangat menyayanginya. Saking akrabnya, ketika bermain-main di masa kecil, Habib Ahmad Al-Kaff sering berlindung di bawah jubah Habib Ahmad Al-Aththas. Ketika usia 7 tahun, Habib Ahmad Al-Kaff belajar ke Tarim, Hadramaut bersama sepupunya, yakni Habib Abdullah; yang akrab di panggil Endung.
Disana mereka berguru kepada Habib Ali Al-Habsyi. Ada sekitar 10 tahun beliau mengaji kepada sejumlah ulama besar di Tarim. Salah seorang gurunya ialah Habib Ali Al-Habsyi, Ulama besar penulis Simtud Duror. Selama mengaji kepada Habib Ali Al-Habsyi, beliau mendapat pendidikan disiplin yang sangat keras, terutama dalam hal perut. Beliau, misalnya, sering hanya mendapat sarapan tiga butir kurma. Selain kepada Habib Ali, beliau juga belajar tasawuf kepada Habib Alwi bin Abdullah shahab. Sedangkan sepupunya, Habib Endung, belajar fiqih dan ilmu-ilmu alat seperti nahwu, shasraf dan balaghah.
Pulang dari Hadramaut, ketika berusia 17 tahun, Habib Ahmad Al-kaff menikah dengan Syarifah Aminah binti Salim Al-Kaff. Meski usianya belum 20 tahun, beliau sudah mulai dikenal sebagai ulama yang menjalani kehidupan zuhud, dan mubaligh majelis taklim. Dua diantara muridnya, yakni Habib Alwi bin Ahmad Bahsin dan Habib Syaikhan Al-Ghathmir, belakangan dikenal sebagai mubaligh dan ulama.
Selain berkiprah di Palembang, Habib Ahmad Al-Kaff juga berdakwah dan mengajar di beberapa daerah di tanah air, misalnya di madrasah Al-Khairiyah, Surabaya. Salah seorang muridnya yang kemudian dikenal sebagai ulama ialah Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, ulama terkemuka Jakarta, yang wafat pada tahun 1969.
Ketinggian ilmu dan kewalian Habib Ahmad Al-Kaff diakui oleh Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad, ulama besar dan wali yang bermukim di Bogor, jauh dari Palembang. Ceritanya, suatu hari seorang Habib dari Palembang ( Habib Ahmad bin Zen bin Syihab ) dan rekan-rekannya menjenguk Habib Alwi, mengharapkan berkah dan hikmahnya.
Mengetahui bahwa tamu-tamunya dari Palembang, dengan spontan Habib Alwi berkata :
"Bukankah kalian mengenal Habib Ahmad bin Hamid Al-Kaff? Buat apa kalian jauh-jauh datang kesini. Sedangkan di kota kalian ada wali yang maqam kewaliannya tidak berbeda denganku? Saya pernah bertemu dengan dia di alam mimpi."
Tentu saja rombongan dari Palembang itu kaget.
Maka Habib Alwi pun menceritakan perihal mimpinya. Suatu hari, Habib Alwi berpikir keras bagaimana cara hijra dari Bogor untuk menghindari terror dari aparat penjajah Belanda. Beliau lalu bertawasul kepada Rasulullah saw dan malam harinya beliau bermimpi bertemu Rasulullah saw, mohon jalan keluar dari masalah yang dihadapinya. Yang menarik, di sebelah Rasulullah saw duduk seorang lelaki yang wajahnya bercahaya.
Maka Rasulullah saw pun bersabda :
"sesungguhnya semua jalan keluar dari masalahmu ada di tangan cucuku di sebelahku ini." Dia lah Habib Ahmad bin Hamid Al-Kaff. Maka Habib Alwi pun menceritakan persoalan yang dihadapinya kepada Habib Ahmad Al-Kaff, yang segera mengemukakan pemecahannya. Sejak itulah Habib Alwi membanggakan Habib Ahmad bin Hamid Al-Kaff.
Sebagaimana waliyullah yang lain, Habib Ahmad Al-Kaff juga selalu mengamalkan ibadah khusus. Setiap hari, misalnua mursyid Tarekat Alawiyah itu membaca sholawat lebih dari 100.000 kali. Selain itu juga menulis sebuah kitab tentang tata cara menziarahi gurunya Habib Ahmad Al-Aththas. Beliau juga mewariskan pesan spiritual yang disebut Pesan Pertanyaan yang Empat, yaitu empat pertanyaan mengenai kemana tujuan manusia setelah meninggal.
Ahirnya empat pesan tersebut bermula ketika Habib Ahmad diajak oleh salah seorang anggota keluarga untuk menikmati gambus. Seketika itu beliau berkata, :
"Aku belum hendak bersenang-senang sebelum tahu apakah aku akan mengucapkan kalimat tauhid di akhir hayatku, apakah aku akan selamat dari siksa kubur, apakah timbangan amalku akan lebih berat dari dosaku, apakah aku akan selamat dari jembatan sirathal mustaqim."
Itulah yang dimaksud dengan "Empat pertanyaan" yang dipeasnkannya kepada para murid, keluarga dan keturunannya.
Habib Ahmad bin Hamid Al-Kaff wafat di Palembang pada 25 Jumadil Akhir 1275 H/1955 M. jenazahnya dimakamkan di kompleks pemakaman Telaga 60, 14 Hulu, Palembang. Beliau meninggalkan lima anak : Hamid Hamid, Habib Abdullah, Habib Burhan, Habib Ali dan Syarifah Khadijah. Kini pengelolaan majelis taklimnya diteruskan keturunannya, Habib Ahmad Fikri bin Husein bin Helmi bin Hamid Al-Kaff, yang setiap minggu pagi membaca maulid Simtud Duror. Salah seorang cucu yang meneruskan dakwah kakeknya ialah Habib Ahmad bin Naufal bin Abdullah bin Ahmad Al-Kaff, pengasuh Pondok Pesantren Darul Habib, Sukabumi, Jawa barat.
( Al-Kisah No.10/Tahun IV/8 Mei-21 Mei 2006 )
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment