Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Aththas lahir di Al-Hajarayn, Hadramaut, tahun 1839 M. pendidikannya dimulai di Hadramaut, tapi beliau pergi ke Hijaz setelah kematian ayahnya dan tinggal disana selama 12 tahun, belajar dibawah bimbingan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan ( wafat tahun 1886 M) dan ulama-ulama lain. Akhirnya beliau pergi ke Jawa, menetap di Pekalongan dan terkenal sebagai figure religius disana.
Habib Ahmad bin Andullah bin Thalib Al-Atthas dikenal sebagai pribadi yang sederhana. Hampir seluruh waktunya habis untuk belajar dan mengajar; melakukan syiar agama islam melalui berbagai pengajian, memberi contoh dengan perbuatannya dan menjadi imam di Masjid Wakaf dekat tempat tinggalnya. Beliau juga dikenal sebagai pribadi istiqamah, tegas memperjuangkan Amar ma’ruf nahi munkar, keras dan tidak pandang bulu, mengatakan yang benar itu benar dan salah itu salah. Sikap inilah yang membuatnya menjadi tokoh yang diperhitungkan. Sebaliknya, beliau menangis bila mengingat bahwa kelak kita akan menjadi penghuni kubur. Sebab umur kita pendek, dan hidup di dunia ini lebih banyak tipuan. Beliau juga dikenal sebagai orang yang luas ilmunya, sehingga menguasai permasalahan yang ada di masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, beliau sangat sopan dan dicintai banyak orang. Beliau memberikan teladan, sangat kuat amalannya, baik yang wajib maupun yang sunah.
Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas dikenal dengan keketatannya pada kaidah pakaian wanita muslim. Orang-orang di kota Pekalongan tahu betul akan hal itu, dan para wanitanya tidak pernah berani berjalan di antara rumahnya dan masjid tanpa menutupi tubuhnya secara ketat.
Pada suatu hari, seorang wanita asing berpakaian impor, yang tampaknya tak memahami keadaan , berjalan di lokasi itu tanpa menutup kepala. Ia berpapasan dengan Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas, dan tiba-tiba sang sufi memukul wanita itu dengan tongkatnya. Bagi Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas, itu merupakan kewajiban yang harus beliau lakukan.
Orang-orang mengerumuni wanita itu danmenjelaskan situasinya, meminta ia melupakan kejadian itu. Namun, wanita tersebut mengadukan hal itu ke kantor polisi yang di kepalai seorang Belanda. Kepala polisi memerintahkan para pembantu polisi Jawa yang muslim untuk menangkap Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas. Mereka tahu betul siapa Sufi tersebut, dan memilih menolak perintah kepala polisi Belanda itu.
Si kepala polisi menjadi tertarik dan pergi ke rumah Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas sendiri. Namun ia kembali dan tidak melakukan apapun.
“Pada mulanya saya mau menangkap Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas. Tapi saya melihat dua ekor Harimau berada di sebelah kanan dan kirinya.”
Kata kepala polisi kepada anak buahnya.
Sebagai seorang Ulama, Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas dikenal cerdas dan kreatif. Salah satu kecemerlangan pemikiran beliau tampak pada idenya membentuk pendidikan sistim klasikal. Beliaulah orang yang membangun Madarasah salafiah Ibtidaiyah secara klasikal pertama di Pekalongan.
Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas wafat tahun 1929 M di Pekalongan. Sebuah tempat keramat dibangun di makamnya. Dan puteranya, Habib Ali, mulai menggelar haulnya, yang menarik ribuan jemaah setiap tahun. Belakangan yang merawat tempat keramat itu adalah Habib Abdullah Al-Baqir Al-Atthas, cucu Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Atthas.
(Dikutip dari Al Kisah No. 21 / tahun III / 10-23 Oktober 2005 & No.23 / tahun II / 8-21 Nov-2004 & No.20 / tahun III / 26 September - 9 Oktober 2005)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment