Habib Ahmad bin Muhammad Al-Atthas lahir di sebuah desa di Al-Khurayba, Hadramaut. Karena mengalami kebangkrutan setelah persengketaan kekayaan, Habib Ahmad bin Muhammad Al-Attas bermigrasi ke Nusantara pada pertengahan abad ke 19. Gurunya, Habib Saleh bin Abdullah Al Attas, menyarankan agar beliau pergi ke Jawa. Mengikuti saran tersebut, Habib Ahmad bin Muhammad Al Attas berangkat ke Hijaz, lalu berkeliling Jawa, Timor, Sulawesi dan Madura. Di setiap tempat di Asia Tenggara, beliau belajar dibawah bimbingan Ulama Hadrami.
Akhirnya, Habib Ahmad bin Muhammad Al Attas menetap di Batavia dan membangun sebuah Zawia dan Masjid tahun 1877 di Pekojan. Namun beberapa tahun sebelum kematiannya, beliau kembali ke Al-Khurayba, tanah leluhurnya di Hadramaut. Menjelang kematiannya, Habib Ahmad bin Muhammad Al-Attas minta agar dirinya dipindahkan ke Amd, dimana gurunya, Habib Saleh bin Abdullah Al-Attas, yang telah mendahuluinya menghadap Allah SWT, di makamkan. Dan akhirnya beliau wafat disana tahun 1886 M.
Hingga kini Zawia dan Masjid Ahmad bin Muhammad Al-Attas masih ada di Jakarta. Namun pengelolaannnya ditangani oleh keluarga Sayyid Hadrami yang lain, karena beliau tidak memiliki keturunan di Asia Tenggara.
Salah satu karomah Habib Ahmad bin Muhammad Al-Attas yang banyak diketahui masyarakat Batavia, Arab maupun non Arab, adalah kisah tentang istri kepala polisi Belanda. Si Istri jatuh sakit. Kondisinya begitu serius, sehingga tak satupun dokter, bahkan yang paling terkenal mampu mengobatinya. Mereka tinggal menunggu ajal menjemput istri komandan polisi itu.
Kemudian beberapa pembantu kepala polisi yang beragama islam memberitahu si kepala polisi Belanda perihal Habib Ahmad bin Muhammad Al-Attas. Ia datang kepada sang sufi, berlutut, dan menceritakan kondisi istrinya.. Lalu Habib Ahmad bin Muhammad Al-Attas membrikan air putih yang telah dibacai ayat AlQur’an.
Si istri minum air putih, dan sembuh. Kepala polisi tersebut terus mengagungkan Habib Ahmad bin Muhammad Al-Attas, bahkan hingga kematian sang sufi ( 1886 ). Ia selalu datang pada malam khataman di Zawia Pekojan, pada bulan Ramadhan setiap tahun, di kawal pasukan polisi berpakaian preman. Mereka menjaga keamanan Zawia itu hingga akhir upacara khataman. Selama hidupnya, sang komandan polisi selalu menyediakan minuman atas biaya pribadi untuk semua jemaah Zawia pada malam hari. Ia terus melakukan itu hingga waktu yang begitu lama sehingga semua orang Arab mengenal nama dan pangkatnya.
Mereka yang tidak mengikuti khataman selalu bertanya, “Apakah Skaut Heine ( nama komandan polisi untuk wilayah Batavia ) datang ?”
Dan yang ditanya menjawab, “Ya, ia akan melakukan hal itu hingga kematian datang menjemputnya.”
(Al Kisah No.20/tahun III/26 September-9 oktober 2005)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment